Bagaimana Hukumnya jika Istri yang Menafkafi Suami
Seorang saudara seiman pernah bertanya kepada kami tentang bagaimana hukumnya jika seorang istri yang menjadi satu satu nya tulang punggung dalam sebuah keluarga?
Ia menuturkan kondisinya bahwa sang suami adalah seorang pemuda berusia 27 tahun yang pernah bekerja sebagai sopir angkot. Namun, setahun yang lalu berhenti bekerja karena sempat cek cok antar sesama sopir angkot lainnya. Ahasil istrinya lah yang mau tidak mau bekerja untuk menyambung hidup suami dan kedua anaknya yang masih belia.
Dalam agama islam sendiri perintah seorang suami untuk menafkahi suaminya adalah mutlak, namun dapat gugur jika sang suami berada pada kondisi tertentu dan begitu pula bagi sang istri.
Bagaimana Jika Istri yang menafkafi suami
Dalam surah an-Nisaa’ ayat 34, Allah SWT berfirman:
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka…
Dalam surah di atas dijelaskan bahwa beban bagi suami untuk mencari nafkah ialah mutlak dibanding oleh seorang wanita. Namun, bagaimana hukumnya dengan wanita yang bekerja dalam islam?
Untuk itu Syekh Yusuf Qaradhawi menjelaskan bahwa seorang wanita diperbolehkan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, jika wanita itu adalah seorang janda dan tidak ada lagi sanak saudara lain yang mampu menafkahi keluarga.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Qashash ayat 23.
“…kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami termasuk orang tua yang lanjut umurnya.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan dua hal yaitu kedudukan seorang laki laki sebagai tulang punggung keluargan adalah mutlak atau wajib selama mampu bekerja, tidak terhalang oleh sakit, umur, dan kemampuan fisik dan psikis. Seorang suami yang masih mampu untuk bekerja namun tidak menafkahi keluarganya termasuk perbuatan dosa, bahkan beberapa ulama menggolongkannya sebagai dosa besar.
Kedua bahwa seorang wanita boleh saja bekerja untuk membantu suami memenuhi kebutuhan keluarganya selama pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam. Cukup berpatokan dengan apakah pekerjaan wanita itu membuatnya menampakkan aurat? berdagang minuman keras ataupun barang haram lainnya, atau bersentuhan fisik dengan laki laki yang bukan muhrimnya.
Selain daripada itu wanita juga sebaiknya tidak bekerja berat sebagaimana yang dilakukan laki laki seorang perempuan pada hakikatnya ialah orang yang melahirkan menyusui dan membersarkan anak, dari sinilah bahwa seorang laki laki wajib bekerja dengan kemampuannya sedangkan wanita hukumnya bekerja bisa menjadi sunah ataupun wajib tergantung pada kondisinya dan kondisi suaminya seperti yang telah disebutkan di atas.