Kemajuan ilmu teknologi dan peralatan medis yang dapat menolong manusia merupakan hasil dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan hasilnya yang diperoleh manusia merupakan ketentuan Allah yang dapat menjadi rahmat, dan dapat pula sebaliknya. Hal tersebut tergantung pada manusia itu sendiri bagaimana melaksanakannya.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pengobatan pada masa sekarang ini, di mana sekelompok ahli ilmu kedokteran bekerja sama dengan ilmu teknologi, yaitu mengawinkan sperma dan ovum di luar rahim dalam sebuah tabung, setelah terjadi pembuahan disarangkan dalam rahim wanita, kemudian akan menghasilkan bayi sebagaimana bayi yang diperoleh secara wajar. Pelaksanaan bayi tabung ini semata mata untuk mengatasi kesulitan para ibu yang tidak bisa memperoleh keturunan secara alami.
Islam menyambut baik akan keberhasilan penemuan penemuan baru, bahkan islam menganjurkan kepada seluruh umat untuk membekali dirinya dengan segala macam ilmu pengetahuan agar dapat mengelolah kekayaan alam yang diberikan Allah swt kepada umat manusia.
Bayi tabung merupakan masalah baru yang belum pernah terjadi pada masa yang lalu, baik pada masa Nabi maupun pada masa sahabat. Maka masalah ini termasuk masalah ijtihad yang harus diteliti dan dipelajari secara seksama, demi untuk menentukan dan menetapkan hukumnya.
Dasar atau sumber pemecahan suatu masalah, haruslah kembali kepada Al Quran. Jika tidak ditemukan di Al Quran maka kita merujuk kepada hadis Rasulullah saw, dan jika dalam Al Quran dan sunnah tidak ditemukan, maka harus ditempuh jalan ijtihad.
Ijtihad dapat dipergunakan dalam memecahkan masalah dengan menggunakan seluruh alat yang ada pada diri kita, seperti rasio, rasa dan hati nurani, yang didasari oleh rasa takwa yang sedalam dalamnya kepada Allah swt.
Memperoleh keturunan bagi tiap tiap individu merupakan akibat yang telah tertanam di dalam jiwa masing masing orang sebagai suatu pemberian dari Allah swt.
Jika sepasang suami istri tidak bisa memperoleh keturunan, tentu resah dan gelisah. Dalam hal usaha dalam memperoleh sesuatu. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [768]
yang ada pada diri mereka sendiri.”(QS Ar-Ra’d:11)
Berdasarkan ayat tersebut, bagi suami istri yang secara alami tidak memperoleh keturunan. sewajarnyalah ia berusaha mencari jalan lain. Jalan tersebut antara lain mempertemukan sperma suami dengan ovum istri dalam sebuah tabung. Kemudian setelah cukup waktunya menurut perkembangan medis, lalu dipindahkan untuk disarangkan kembali ke dalam rahim istri, sampai saat melahirkannya. Cara inilah yang kemudian kita kenal sebagai istilah bayi tabung.
Bayi tabung pada rahim perempuan lain
Masuknya janin ke dalam rahim perempuan yang bukan istrinya tentunya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Satu masalah yang mungkin akan muncul ialah bagaimana jika sperma dari suami dan ovum juga dari istri dibuahkan dalam bayi tabung, tetapi setelah pembuahan dititipkan pada perempuan lain?
Hal demikian bisa terjadi, mungkin karena si istri mengalami kesulitan untuk mengandungnya, karena menurut pemeriksaan dokter, rahim tersebut tidak sesuai untuk pertumbuhan janin.
Berdasarkan alasan alasan tersebut, suami berencana untuk menitipkannya kepada istri kedua, ketiga atau mungkin keempat umpamanya. Cara demikian dapat dibenarkan asal dapat memenuhi syarat syarat:
a. Sperma dan telur berasal dari suami istri
b. Istri yang memiliki bibit rahimnya tidak bisa ditempati janin sampai bayi itu lahir
c. Istri yang dititipi itu secara alami tidak bisa hamil, tetapi rahimnya memenuhi syarat untuk bisa ditempati pertumbuhan janin sampai saat bayi itu lahir
d. Adanya kesepakatan atau persetujuan antara istri istri tentang pemeliharaan bayi tersebut setelah terjadi kelahiran.
Islam tidak membenarkan bila janin itu dititipkan pada wanita lain yang bukan istrinya, sebab dalam Islam menanam benih ada rahim wanita lain haram hukumnya sebagaimana Nabi saw bersabda:
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyirami airnya ke ladang orang lain”(HR. Abu Dawud)