Berbuka Ala Rasul
Dalam beberapa riwayat kita menemukan kesederhanaan Rasul dalam berbuka puasa. Para mubaligh sering menyebut, Rasul hanya berbuka dengan seteguk air dan sebutir kurma. Riwayat ini tentu tidak dipahami dalam makna literalnya, bahwa kita harus berbuka dengan kurma.
Pesan sederhananya adalah kita dianjurkan berbuka dengan yang manis-manis agar energi kembali prima. Namun lebih penting dari itu, pesan kemanusiaannya adalah kita diharapkan berbuka dengan penuh kesederhanaan (ekonomis), tidak berlebih-lebihan (israf) apalagi mubazir.
Sikap sederhana dalam berbuka puasa sangat erat kaitannya dengan esensi puasa itu sendiri, yaitu kemampuan mengendalikan diri. Pada siang hari kita dituntut untuk mengendalikan diri dari makan dan minum serta berhubungan seks secara total. Namun, pada malam hari kendati telah berbuka, kita tetap dituntut agar mengendalikan diri dengan cara tidak berlebih-lebihan. Inilah makna puasa yang sesungguhnya.
Orang yang tidak mampu mengendalikan nafsu makannya pada malam hari, walaupun tidak berpengaruh dengan keabsahan puasanya di siang hari, namun itu sudah cukup untuk menunjukkan kegagalannya dalam menangkap substansi ibadah puasa.
Berbuka Ala Rasul
Puasanya pada siang hari tidak meninggalkan bekas dan kesan yang mendalam pada jiwanya. Kelihatannya ini lah yang dimaksud dengan riwayat yang mengatakan, betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang di dapatnya kecuali lapar dan dahaga. Dalam istilah yang lain, betapa banyak orang jawwa’ (menahan lapar) namun hanya sedikit yang berpuasa.
Dengan demikian, semangat mengendalikan diri ini harus mampu menjadi karakter diri orang yang berpuasa. Kapan dan di mana pun, ia tetap mampu mengendalikan dirinya. Mengendalikan diri tidak saja dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat, tetapi juga menyangkut persoalan yang merusak tata nilai universal kehidupan.
Ukuran pengendalian diri selama ramadhan akan terlihat pada kemampuan seorang mukmin untuk menurunkan “pengeluaran konsumtifnya” (pengeluaran untuk membeli makanan dan kebutuhan sehari-harinya), dan pada sisi lain ia meningkatkan “pengeluaran produktif” (infaq dan sedekah)
Dikatakan pengeluaran produktif, karena apa pun yang diberikan dalam bentuk infaq dan sedekah, itulah yang abadi di sisi Allah swt. Sedangkan harta yang ada pada kita bisa jadi tidak berarti apa-apa.
Puasa seseorang dikatakan gagal, jika pengeluaran konsumtif untuk diri dan keluarganya selama bulan Ramadhan meningkat secara signifikan, sedangkan infaq dan sedekahnya masih dalam batasan minimal.
Hal ini tidak saja menunjukkan bahwa ia gagal merasakan penderitaan orang lain. Ketika puasa ia merasa lapar dan dahaga. Namun, semua itu memberinya kepekaan sosial dan peduli dengan penderitaan orang-orang miskin.
Budaya wisata kuliner tanpa disadari telah melikat pada muslim Indonesia. Tentu saja ketika ia telah menjadi budaya, maka akan sulit untuk merubahnya. Oleh sebab itu, sepanjang wisata kuliner dilakukan untuk menyiapkan makanan berpuka bagi orang miskin, orang-orang yang tak berdaya dan anak yatim, maka wisata kuliner selama bulan Ramadhan menjadi positive untuk dilakukan.
Sebaliknya, jika wisata kuliner dilakukan untuk memenuhi hasrat perut sendiri, maka budaya tersebut tidak memberikan manfaat apa pun. Rasul memerintahkan kita untuk menyiapkan makanan untuk orang yang berpuasa, walaupun hanya segelas air dan sebutir kurma? Ini semua menunjukkan betapa pentingnya menumbusuburkan kepekaan dan kepedulian sosial selama Ramadhan. InsyaAlllah…
Semoga bermanfaat…