Fiqih Imam Malik
Imam Malik sangat dikenal dalam dunia fiqih dan hadis. Ilmunya tidak seperti bentuk pemikiran pemikiran islam lain yang sezaman dengannya, seperti pemikiran kaum Mu’tazilah, Syiah, Qadariyah, dan yang searah dengan itu, yang tidak pernah ada dalam pandangannya dan pandangan mayoritas kaum muslimin yang terpercaya dan diikuti.
Imam Malik ini adalah ahli fiqih dan ahli hadis Madinah. Ia sangat lurus dalam mengeluarkan hukum hukum dan memilih jalan yang lurus dalam mengerluarkan hukum-hukum dan memilih jalan yang ia wajibkan untuk dirinya sebagai landasan berpikir dan fiqihnya.
Oleh karena itu, yang dijadikannya sebagai sumber pertama untuk fiqihnya ialah Al Quran. Untuk membantunya memahami Al Quran, ia mengaitkannya dengan dengan pengetahuan yang luas tentang hadis dan sunnah.
Fiqih Imam Malik
Adapun sumber fiqih dan penentuan syariat yang kedua diambil dari Sunnah Nabi saw. Sunnah adalah penerang hukum hukum Al Quran. Penjelas lafal-lafalnya dan penfsik keputusan-keputusan yang ada didalamnya, yang membutuhkan penjelasan dan keterangan.
Imam Malik sering berhujjah dengan ayat ayat yang mulia, yang menjelaskan perintah berpegang terhadap sunnah Nabi saw, seperti firman Allah
“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.(QS Al-Hasyr:7)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu….”(QS Al-Ahzab:21)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(QS An-Nisa:65)
Dalam hal ini, Imam Malik sering membaca subuah syair yang berbunyi,
“Sebaik baik perkara din (agama) adalah yang bersumber dari sunnah dan sejelek jeleknya perkara din (agama) adalah perbuatan-perbuatan baru yang (bid’ah)”
Sumber ketiga Imam Malik adalah perkataan sahabat karena mereka adalah orang orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Hidup dan semua aktivitas mereka sangat erat hubungannya dengan beliau.
Mereka mendengar perkataan beliau dan menyaksikan perbuatan perbuatan beliau dan mendengar sabda sabda beliau. Mereka adalah murid murid beliau, belajar di depan beliau. Dalam hal ini Imam Malik tidak membedakan antara sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar.
Sumber ke empat fiqih Imam Malik adalah Ijma’, yaitu keputusan yang disepakati oleh para fuqaha dan ulama. Adapun sumber ke lima dalam fiqihnya adalah perbuatan perbuatan yang diamalkan oleh penduduk Madinah karena mereka adalah keturunan yang menyertai Rasulullah saw. Alasan yang lain adalah karena hukum hukum umum itu menetap di suatu tempat untuk beberapa generasi.
Jika tidak mendapatkan Nash atau dalil yang dekat, Imam Malik menetapkan fiqihnya dengan kias (pengambilan hukum dengan analogi), istihsan (pengambilan hukum dengan menyimpan dari suatu kias ke kias lain yang lebih kuat), ‘urf (pengambilan hukum dari kebiasaan atau adat yang diterima akal), saddudz-dzara-I (pengambilan hukum dengan menghentikan perkara yang sebenarnya diperbolehkan tetapi membawa kemudharatan), dan al-mashalih al-mursalah (pengambilan hukum suatu perkara yang tidak ada usul yang menerangkannya, tetapi ada suatu arti yang memberitahukan suatu hukum yang bertentangan dengan akal).
Ada yang menyatakan bahwa Imam Malik termasuk dari ulama ahlu ra’yi. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kitab al’Ma’rif karangan Ibnu Qutaibah. Lafal dalam kitab itu menerangkan bahwa Imam Malik sama dengan Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin AL-Hasan.
Ketika lafal itu didapatkan oleh Prof. Abu Zahrah, ia mengadakan penelitian terhadapa fiqih Imam Malik dan hasilnya ia sepakat bahwa Imam Malik sangat kuat dalam hal ra’yi (Penalaran/akal), bahkan juga faqih (mampu memahami) hadis.
Selain itu, ra’yi yang diterima oleh Imam Malik tidak sama dari semua arah dengan yang dipakai oleh Abu Hanifah, teman-temannya, dan semua ahlu ra’yi Irak. Perbedaan perbedaan antara keduanya adalah dalam cara istinbat (pengambilan kesimpulan) dengan ra’yi bukan dalam hal kuantitasnya.
Ada hal yang penting untuk disebutkan berkaitan dengan fatwa fatwa Imam Malik, yaitu ia tidak pernah bercepat cepat menyampaikan pendapatnya tentang hal hal yang ditanyakan kepadanya.
Ia selalu mempelajari masalah itu dengan cermat dan teliti. Contohnya adalah perkataannya, “Sungguhm aku sedang berpikir dalam satu masalah sejak beberapa belas tahun yang lalu dan sampai sekarang belum memutuskan pendapatku.” Imam Malik juga berkata,
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat bagiku melebihi ketika aku ditanya tentang halal dan haram karena hal itu adalah sebuah keputusan dalam hukum Allah.” Ia juga sering mengatakan, “Tidaklah kami sangkakan kecuali hanya dengan persangkaan dan tidaklah kami benar benar yakin.”
Di dalam hati dan pikirannya, Malik selalu membayangkan hari kiamat dan hisab, terutama di waktu ia menyampaikan fatwanya, terutama di waktu ia menyampaikan fatwanya dalam memutuskan masalah kaum muslimin.
Oleh sebab itu, tiap kali ditanya, ia selalu berkata kepada si penanya, “Pergilah dahulu sampai aku bisa menjawabnya” artinya, dia tidak pernah cepat cepat menjawab.
Untuk menjawab pertanyaan itu ia selalu melihat sanad sanad, sumber sumber, dan hukum hukum yang dikuasainya. Dia selalu menimbang dan membolak balikkan pikirannya sebelum menetapkan keputusannya.
Bahkan, suatu ketika ia pernah ditanya oleh sebagian orang, namun ia malah menangis karena rasa takutnya. Ia berkata, “Sungguh, aku takut aka nada satu hari (yang sulit) bagiku karena pertanyaan pertanyaan ini.”
Oleh karena itu, Imam Malik hanya menjawab perkara perkara yang telah terjadi dan tidak suka menyelam ke dalam perkara perkara yang belum terjadi, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Hanifah.
Mungkin karena Imam Malik dahulunya hidup di daerah yang sangat terbatas, yaitu hanya di daerah Hijaz. Oleh karena itu, jika kita memerhatikan pemikiran pemikirannya tidak begitu luas. Ini sangat berbeda dengan pemikiran yang muncul dari Abu Hanifah.
Pemikiran Abu Hanifah relative lebih luas karena ia sering mengembara dan berhubungan dengan banyak orang, baik di awal hidupnya ketika sedang sibuk berdangang maupun di tengah dan di akhir dari masa hidupnya ketika ia telah mengabdikan dirinya dalam dunia keilmuan.
Masalah-masalah manusia yang di hadapinya lebih banyak, lebih komplek, dan lebih rumit. Itulah yang mengharuskannya untuk menetapkan syariat-syariat dalam perkara perkara atau masalah masalah yang menurut pandangannya yang jauh yang akan muncul dan pasti terjadi dalam panggung kehidupan manusia.
Imam Malik berkata, “JIka seorang alim meninggalkan kalimat ‘Aku tidak tahu’ sama dengan ia telah terbunuh” kalimat itu sering diucapkan dan menunjukan betapa ia sangat berhati hati dalam menjawab pertanyaan.
Bahkan, jika ia ditanya dan tidak dapat menjawabnya, dengan sengaja dia mendamprat si penanya. Pernah ada seorang laki laki bertanya kepadanya tentang kalam Allah yang berbunyi: Dzat Yang Maha Pengasih itu bersemayam di atas Arsy, bagaimana persemayaman-Nya itu?
Malik menjawab, “Persemayam itu dapat diterima oleh akal. Adapun bagaimana persemayaman-Nya, tidak diketahui. Aku tidak berperasangka tentang kamu kecuali kamu orang yang jelek”