islamistri rasulullah

Hafsah Istri Rasulullah saw

Hafsah ra adalah putri dari Umar bin Khaththab. Nama lengkapnya adalah Hafsah binti Umar bin Khaththab bin naf’al bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un.

Hafsah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sajarah kaum Quraisy, yaitu ketika Rasulullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fatimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau.

Beberapa hari setelah Fatimah lahir, lahirlah Hafsah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi perempuan sudah menjadi kebiasaan seorang ayah Arab Quraisy di jaman jahiliah bahwa anak perempuan merupakan aib bagi keluarga. Saat itu Umar bin Khaththab belum memeluk Islam, kalau saja ia tahu bahwa anaknya akan menjadi istri dari Rasulullah saw tentu ia akan merasa sangat bahagia.

Sayyidah Hafsah dibesarkan dengan mewarisi sikap ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Kelebihan lain yang dimiliki oleh Hafsah adalah kelebihannya dalam membaca dan menulis padahal ketika itu, kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Hafsah tidak masuk dalam golongan pertama yang masuk Islam, karena awalnya ayahnya Umar bin Khaththab adalah musuh dari Islam, ia sangat membenci Islam hingga pada akhirnya dia tidak sengaja membaca surat dalam Al Quran dan mampu membuatnya tersentuh hingga akhirnya ia masuk Islam..

Selengkapnya Masuknya Umar bin Khaththab ke Islam

Kabar keislaman Umar bin Khaththab ini memotivasi kaum Muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali terdapat seorang pemuda yang bernama Khunais bin Hudzafah as Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana ia sangat mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekkah ia langsung menemui Umar bin Khaththab, di sana ia berjumpa dengan Hafsah. Dia meminta Umar bin Khaththab untuk menikahkan dirinya dengan Hafsah, dan Umar bin Khaththab pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah akhirnya berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.

Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum Muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Yatsrib untuk menjaga mereka sekaligus menjaga mereka dari penyiksaan dan kezaliman kau Quraisy. Dalam Hijrah ini Hafsah dan suaminya ikut serta.

Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan telah mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk memerangi kaum musyrik telah tiba.

Peperangan pertama antasa kaum muslimin dengan kaum musyrik adalah perang badar. Pada peperangan ini Allah telah menunjukan kuasanya lewat kemenangan yang diraih walaupun jumlah kamu Muslimin saat itu sangat sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota yang terlibat dalam perang badar, dan mengalami luka yang cukup para sepulangnya dari berperang. Hafsah senantiasa merawat Khunais namun Allah berkehendak lain, Khunais syahid dalam perjuangannya melawan kebatilan dan kezaliman, hingga Hafsah menjadi Janda. Saat itu usia Hafsah baru delapan belas tahun, namun ia tabah menghadapi cobaan yang menimpahnya.

Hafsah Istri Rasulullah saw

Hafsah Istri Rasulullah saw

Umar bin Khaththab sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usianya yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbesit niat untuk menikahkan puterinya dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu ia pergi ke rumah Abu Bakar dan berkata:

“Saya ingin menikahkan Hafsah dengan Anda.”

Abu Bakar tetap tenang, sementara itu Ruqayyah ra putri Nabi saw dan istri Utsman meninggal. Umar bin Khaththab pergi ke Utsman dan menawarkan Hafsah kepadanya. Dia menolak dengan mengatakan:

“Aku belum ingin menikah saat ini”

Menghadapi dua sikap sahabatnya Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih memikirkan nasib puterinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dan mengadukan kekecewaannya terhadap sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar bin Khaththab, Rasulullah saw bersabda:

“Hafsah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafsah.”

Semula Umar bin Khaththab tidak memahami maksud ucapan Rasulullah saw, tetapi lama ia pikir, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang puterinya. Wajah Umar berseri seri  atas kemuliaan agung yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Maka hilanglah kesusahan dalam hatinya, ia segera menyebarkan kabar pada siapa saja yang ia temui. Abu Bakar adalah orang pertama yang ia temui, maka setelah Abu Bakar melihat Umar bin Khaththab yang dirundung gembira tak terkira segera memberi selamat dan menyampaikan permohonan maafnya. Pada Umar bin Khaththab Abu Bakar berkata:

“Janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar bin Khaththab, karena aku telah mendengar Rasulullah menyebut nyebut Hafsah. Hanya saja aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah, seandainya beliau menolak Hafsah, maka pastilah aku akan menikahinya”

Umar bin Khaththab memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena lantaran sedih kehilangan istrinya Ruqayyah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum ia dijuluki dzunnurani (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafsah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau kepada Umar bin Khaththab di samping juga karena Hafsah merupakan seorang janda dari seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as Sahami.

Madinah mendapatkan Barokah dengan menikahnya Rasulullah dengan Hafsah bin Umar bin Khaththab pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula dengan pernikahan Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum binti Muhammad pada bulan Jumadil akhir tahun ketiga Hijriah juga.

Di rumah Rasulullah saw, Hafsah ditempatkan di kamar khusus, bersama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah bin Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafsah karena mereka sebaya, lain halnya dengan Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafsah sebagai putri Mulia Umar bin Khaththab sahabat Rasulullah yang terhormat.

Umar bin Khaththab memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Ia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang Ridha terhadap Aisyah artinya ridha pula terhadap Rasulullah. Karena itu Umar bin Khaththab berpesan kepada puterinya agar berusaha dengan Aisyah dan mencintainya.

Selain itu, Umar bin Khaththab memintah Hafsah agar menjaga tindak tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih terjadi kesalapahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri istrinya.

Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafsah melihat Mariyah al Qabtiyyah datang menemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafsah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamarnya tertutup, sementara Mariyah dan Rasulullah berada di dalamnya.

Melihat kejadian itu amarah Hafsah meledak. Hafsah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredahkan amarah Hafsah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafsah, dan Nabi meminta agar Hafsah merahasiakan hal tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika istri istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, Karena dialah satu satunya wainta yang melahirkan putra Rasulullah setelah Sitti Khadijah ra. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah menyuruh Hafsah untuk merahasiakan hal tersebut. Berita tersebut akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah menceraikan Hafsah, namun setelah beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau mempertahankan Hafsah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh.

Malaikat Jibril bekata:

“Ambil Hafsah kembali. Dia berpuasa dan berdoa dan dia akan menjadi istrimu di Taman.”

Rasulullah pun mempertahankan Hafsah sebagai istrinya, terlebih karena Hafsah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah.

Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati dan mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafsah. Pada dasarnya Rasulullah menikahi Hafsah karena memandang keberadaan Umar bin Khaththab dan merasa kasihan terhadap Hafsah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat ini sebagai antisipasi atas isu isu yang tersebar.

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [1485] Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu [1486] dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan Peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan Menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. jika Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)

Hafsah senantiasa betanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar bin Khaththab kepada Hafsah, sedangkan Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafsah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda:

“Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik”

Rasulullah pernah marah besar kepada istri istrinya yang meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar bin Khaththab mendatangi rumah Rasulullah. Umar bin Khaththab melihat istri istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselihan antara mereka dengan Rasulullah.

Secara khusus Umar bin Khaththab memanggil puterinya, Hafsah, dan mengingatkannya kembali untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahannya. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 28)

Rasulullah menjauhi istri istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut Khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar. Setelah kejadian itu tersebarlah kabar bahwa beliau telah menyeraikan istri-istrinya. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga ia menemui istrinya yang sedang menangis. Umar bin Khaththab berkata:

“Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu”

Dengan terisak Rasulullah menjawab:

“Aku tidak tahu”

Umar bin Khaththab berkata

“Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya”

Hafsah menangis dan menyesali perbuatannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar bin Khaththab mendatangi Khasanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar bin Khaththab menemui Rasulullah bukan karena anaknya melainkan karena kecintaan Umar bin Khaththab kepada Rasulullah dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar.

Dia merasa puterinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar bin Khaththab pun meminta penjelasan dari beliau walaupun dari sisi  lain ia sangat yakin bahwa beliau tidak  akan menceraikan istri istrinya. Dan memang benar bahwa Rasulullah tidak akan menceraikan istri istrinya, sehingga Umar bin Khaththab mengabarkan berita gembira ini kepada kaum Muslimin. Kaum muslimin sangat gembira mendengarkan hal itu, dan tentu yang paling gembira adalah istri istri beliau.

Setelah genap sebulah Rasulullah menjauhi istri istrinya beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafsah bisa dikatakan sebagai istri Rasulullah yang sangat menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafsah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam.

Kebiasaan itu berlanjut hingga Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dia mengikuti perkembangan penaklukann penaklukan besar baik dari bagian timur maupun bagian barat. Hafsah sangat kehiilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ketika itu, Hafsah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya:

“Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.”

Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan berba’iat kepada Ali bi Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar bin Khaththab, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Tentang wafatnya Hafsah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafsah wafat pada tahun 45 HIjriah, dalam usia kurang lebih 63 tahun. Sebagaimana yang diriwayatkan ada juga yang menyebutkan beliau wafat pada tahun 41 Hijriah, dalam usia 60 tahun. Hafsah dikuburan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri istri Nabi yang lain.

Karya besar baagi Hafsah adalah terkumpulnya Al Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan, karena dialah satu satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasulullah, Al Quran terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelapah kurma atau lembaran lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa Khalifah Abu Bakar, para penghafal Al Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al Quran yang tercecer. Awalnya Abu Bakar khawatit untuk mengumpulkan Al Quran dalam satu kitab, menurutnya hal itu adalah Bid’ah dan tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw. Akan tetapi atas desakan Umar bin Khaththab, Abu Bakar akhirnya memerintah Hafsah untuk mengumpulkan Al Quran, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al Qur’an itu berada di tumah Hafsah hingga dia meninggal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button