imammazhabtokoh islam

Imam Syafi’I (150-204 H)

imam syafi'iImam Syafi’i ialah sebuah tanda dari tanda tanda Islam. Semua mata yang menyelidik keutamaan kepribadiannya, perangainya dan, dan warisan yang ditinggalkannya, pasti akan seringkali berhenti sebagai rasa pengagungan untuknya dan menghadap kepadanya sebagai bentuk cinta, pemuliaan, penghargaan, dan penghormatan.

Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin As’Sa’ib Al-Qurasyi, seorang yang ciri cirinya diidentifikasikan dengan perkataan agung, “Ulama Quraisy yang ilmunya memenuhi semua permukaan bumi”

Dilihat dari segi waktu hidupnya, dia adalah Imam ketiga dari empat imam terkenal. Akan tetapi, Imam Syafi’i di waktu yang sama menjadi penengah yang menyimpulkan mereka karena ia memiliki jiwa yang senantiasa berkembang dan baru.

Selain itu, disebabkan pula oleh pemikiran pemikirannya dalam keputusan keputusan fiqihnya, penanganannya dalam perkara perkara agama, penelitiannya terhadap masalah masalah yang diperdebatkan, dan keagrsifannya terhadap bermacam macam bentuk ilmu yang ada di zamannya.

Imam Syafi’I (150-204 H)

Semua itu dilakukan dengan sempurna. Hasil dari itu semua, antara lain menjadikan pribadi ilmiah pada diri manusia yang dapat memperluas pengetahuannya, lalu meletakkannya di tempat yang memungkinnya untuk memberi, memanfaatkan, dan menimbang setiap perkara dengan pertimbangan yang benar, lalu memilih yang paling bagus dan mengesampingkan yang tidak diperlukan.

Jika dua Imam besar, yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, yang pertama dinyatakan sebagai madrasah ra’yi dan yang kedua sebagai kepala madrasah hadis, Imam Syafi’I adalah imam yang menggunakan metode dua madrasah itu di bidang pemahamannya Al Quran, sunnah, dan fiqih islam yang benar.

Al-Alim Al-Fadhil Asy-Syekh Muhammad Abu Zahirah berpendapat bahwa Imam syafi’i menggabungkan antara fiqih ahlu ra’yi dan fiqih ahli hadis dengan takaran yang berimbang.

Al-Jalil Dr. Ahmad Asy-Syarbashi berpendapat bahwa Imam Syafi’I lebih dekat ke Madrasah hadis dan periwayatan dari pada ke madrasah ra’yi dan aqli. Meskipun dalam hal ini kedua ulama tersebut berselisih pendapat (yang pertama berpendapat bahwa Imam Syafi’I menggabungkan dua madrasa secara berimbang, sedang yang kedua memandangnya lebih dekat ke madrasa hadis), keduanya bersepakat bahwa Imam Syafi’I menggabungkan kedua madrasah itu.

Dalam perkara itu ada kata sepakat dan perselisihan. Terlepas dari masalah itu, yang jelas kepribadian Imam Syafi’I, ilmunya, etikanya, agamanya, dan tingkah lakunya merupakan satu bentuk keistimewaan dalam dunia ilmu dan ulama.

Oleh karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal, salah satu muridnya berpendapat bahwa gurunya adalah seorang mujaddid (Pembaru) abad kedua. Dalam hal ini ia berpikir pada hadis masyur yang berbunyi:

Sesungghunya, Allah akan membangkitkan untuk umat ini pada tiap tiap seratus tahunnya orang yang akan memperbaharui agamanya.

Ibnu Hanbal berpendapat bahwa Umar bin Abdul-Aziz adalah mujaddid pada seratus tahun yang pertama dan ia berharap Imam syafi’i menjadi mujadid pada seratus tahun yang kedua

Imam Ibnu Hanbal berpendapat dengan firasatnya sebagai orang yang beriman, dengan pandangannya sebagai seorang alim, dengan penglihatannya sebagai seorang peneliti, dan dengan keputusannya sebagai seorang yang lama bergaul dengannya bahwa Imam Syafi’i adalah seorang mujaddid abad kedua dan imam panutan generasi-generasi berikutnya.

Ini adalah pandangan terhadapa Imam Syafi’i dari satu sisi. Adapun dari sisi yang lain, Abu Ashim, pemilik kitab Thabaqat Asy-Syafi ‘iyah, berpendapat bahwa hadis Rasulullah saw tentang orang alim suku quraisy tidak sesuai dengan seorang pun di antara orang quraisy, seperti bersesuainnya sebutan itu atas Imam Syafi’i.

Demikian pula pendapatnya terhadap hadis yang berbunyi, “Janganlah kalian mencela Quraisy karena orang alim (dari suku itu) akan memenuhi semua permukaan dengan ilmu”

Selain itu, Abu Ashim juga berkata, “Tidak ada satu kitab pun dari kitab-kitab orang Quraisy yang tersiar ke seluruh penjuru negeri, dihafalkan oleh orang-orang besar dan disampaikan kepada anak anak kecil serta disebarkan di kota kota sebagaimana kitab Syafi’i”

Sesungguhnya apa yang diriwayatkannya dari para sahabat adalah hal hal pokok. Dialah yang berhak terhadap berita yang ada pada hadis itu. Dialah yang memperkuat Malik dan Abu Hanifah karena mengandung ushul (yang pokok) kemudian membangun furu’ (yang cabang) di atasnya sehingga lebih berhati hati.

Dia lebih berhati hati dalam perkara bersuci, syarat-syarat ibadat, penikahan, dan jual beli. Itulah yang dikenal dalam mazhabnya yang jelas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button