imammazhabtokoh islam

Kepribadian Imam Syafi’i

Imam Syafi’i memiliki kepribadian ilmiah yang tinggi yang menyertainya sepanjang hidupnya, sejak masa kecilnya dan terus menemaninya hingga ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H, ketika berusia 54 tahun.

Imam Syafi’i pernah bercerita tentang dirinya saat masih kecil, “Saat di Madrasah, aku mendengar seorang guru mendikte seorang anak satu ayat maka aku langsung hafal ayat itu” Akan tetapi, Syafi’i adalah orang yang miskin yang tidak mempunyai alat tulis yang dapat membantunya untuk mencatat pelajaran pelajarannya.

Ia bercerita, “Jika telah keluar dari madrasah, aku memungut keramik-keramik, kulit kulit, dan pelepah-pelepah kurma, lalu aku menulis hadis di atasnya, kemudian aku datang kepada para penulis dan meminta dari mereka lembaran lembaran kertas”

Related Articles

Kepribadian Imam Syafi’i

imam syafi'i

Imam Syafi’i berjanji pada dirinya untuk bertemu dengan Malik untuk belajar langsung darinya atau mengujikan hasil belajarnya. Oleh karena itu, sebelum berangkat ke Madinah dan bertemu dengan Malik, ia meminjam kitab muwaththa, yaitu kitab yang berisi pemikiran Malik, fiqihnya, dan kumpulan kumpulan hadis shahih, dari seorang penduduk Mekah.

Yaqut meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i menghafalkan kitab itu dan menyelesaikan hafalannya hanya dalam waktu Sembilan malam.

Selanjutnya, jika pertemuan antara syekh besar dan pemuda kecil itu belum selesai dengan sempurna, yang kecil itu mengharuskan kepada Syekh besar itu untuk dapat mendengarkan pengajarannya lagi dan mengharap cinta kasihnya agar bersedianya membacakan kitab baginya di hari hari longgarnya.

Sebelum itu, sebenarnya Syafi’i telah mempersiapkan dirinya dengan persiapan persiapan yang lain. Ia telah mempersiapkan dirinya dengan mempelajari bahasa, adab (etika), serta periwayatan syair syair dan perkataan-perkataannya.

Ia telah menetap di kampong kabilah Hudzail yang ada dipedalaman Arab selama beberapa tahun sampai dapat menghafal syair-syair dan meriwayatkan cerita cerita mereka.

Saat itu, Hudzail adalah kabilah Arab yang paling fasih dan paling tinggi syairnya. Setelah itu ia pulang ke Mekah dan meriwayatkan syair syairnya. Ketika itulah ada seorang dari kelompok penduduk Zubair mengarahkannya ke fiqih.

Orang itu berkata kepadanya, “Wahai Syafi’i, sulit bagiku untuk menerima ketiadaan fiqih menyertai ilmu bahasa, kefasihan dan kepandaianmu.” Lalu orang itu menunjukan kepada Syafi’i tentang Malik bin Anas.

Bahkan, ia menjamin Syafi’i untuk bisa belajar kepada Imam itu. Al-Ashma’i, pembesar periwayat syair Arab, menyatakan bahwa dirinya telah membacakan syair syair orang-orang Hudzail kepada seorang pemuda dari Quraisy bernama Muhammad bin Idris.

Hal hal yang menyebabkan kematangan Syafi’i  telah sempurna. Ia pun duduk dengan bajunya yang putih dengan wajahnya yang bersinar dengan sedikit kecoklat coklatan, di dekat sumur zam zam, menyebarkan mutiara ilmunya dalam kemudahan, kelonggaran, dan ketawadhu’an.

Ia menjawab pertanyaan pertanyaan mereka dengan mantap, adil, dan amanah. Ia pun membantah orang yang menyelisihi pendapatnya dengan iman, keteguhan dan logika yang bersumber dari kitab Allah, sunnah Rasul-Nya, dan buah ilmunya, serta segenap kecerdikan dan kepandaiannya yang luar biasa.

Maka tersiarlah namanya, lalu memiliki banyak murid, di antaranya ialah seorang Imam Agung, Ahmad bin Hanbal.

Imam Syafi’I mengumpulkan manusia karena keutamaannya, ilmu dan agamanya. Maka meluncurlah hukum hukum dari lisan yang terpuji dan menakjubkan. Hal itu disebabkan karena Imam Syafi’i, selain memiliki tabiat yang sangat longgar dan toleran, ia adalah lautan ilmu yang dasarnya sangat dalam dan tepiannya amat jauh.

Ia memiliki ilmu ilmu din (agama) dari qurannya, hadisnya, fiqihnya, dan ilmu bahasanya. Ia juga menguasai ilmu ilmu dunia, seperti nahwu (tata bahasa), ilmu ‘arudh (persajakan), ilmu Syair, ilmu tentang perkara perkara yang langkah, ilmu tentang hari hari, ilmu falak, dan cerita cerita zaman dahulu.

Begitulah Imam Syafi’i sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hanbal. Seluruh ulama sepakat, baik ahli hadis, fiqih, ushul, bahasa nahmu maupun yang lainnya bahwa Syafi’I adalah seorang imam yang tsiqah (kuat dan teguh), amanah, adil, zuhud, wara’ terjaga kehormatannya, sangat pemaaf, bagus perjalanan hidupnya, dan tinggi kedudukan serta kedermawanannya.”

Yunus bin Abdil A’la juga berkata tentang dirinya, “Syafi’i adalah orang yang paling pintar imu nahwu, syair, sanad, dan fiqih.” Imam Ibnu Hanbal mengisyaratkan keutamaan Syafi’i dengan berkata, “Tidak ada seorang pun di tangannya ada tinta kecuali di leher Syafi’i pasti ada keutamaan”

Pada kesempatan yang lain, Ibnu Hanbal juga menyebutkan keistimewaan gurunya itu dari semua ulama yang lain dengan berkata, “Syafi’i adalah seorang filsuf dalam empat hal: bahasa, perselisihan manusia, ma’ani, dan fiqih.”

Ar-Rabi’ bin Sulaiman, pembantu dan sekaligus muridnya, menyebutkan bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang duduk di Majelis ilmunya sepanjang umurnya.

Seusai Shalat subuh ia didatangi oleh orang orang ahli Al Quran. Jika matahari telah terbit, mereka pergi dan digantikan oleh ahli hadis. Mereka bertanya kepadanya tentang penjelasan penjelasan dan artinya. Jika matahari telah tinggi, mereka pergi dan majelis berganti untuk diskusi. Peserta diskusi itu pergi saat waktu Dhuha telah tinggi, kemudian digantikan oleh orang orang ahli bahasa Arab, ilmu arudh, nahwu, dan syair. Mereka terus menemaninya sampai mendekati pertengahan siang.

Jika Imam Malik mangabdikan diri untuk menghafal hadis Rasulullah saw, mengumpulkan, menyusun, serta mengajarkannya, imam Syafi’i mengabdikan diri pula untuk menghafalnya, mengajarkannya, mendiktekannya, mengambil kesimpulan hukum hukumnya, memahami ushul dan menjelaskan keadaan serta kedudukannya.

Ibnu Hanbal, orang yang tidak diragukan kemampuan dan keagungan ilmunya, berkata, “Aku tidak mengetahui mana hadis yang nasikh (menghapus) dan mana yang mansukh (dihapus) sampai aku belajar kepada Syafi’i”

Az-Za’farani juga menerangkan keutamaan Imam Syafi’i  di antara ulama ulama hadis lainnya dengan berkata,

“Semua ahli hadis dalam keadaan tidur sampai Syafi’i datang, ia membangunkan mereka, maka mereka pun bangun”

Masih berkaitan tentang pengakuan tentang keutamaannya melebihi pelajar pelajar hadis lainnya, Ibnu Hanbal berkata,

“Ketika Nu’aim bin Hammad datang kepada kami, kami pun bersungguh sungguh untuk mencari hadis musnad. Lalu ketika Syafi’i datang kami berpindah ke arah yang putih”

Itulah Imam Syafi’i, pendidikannya, pengakuan para ulama tentang kelebihannya atas mereka bahwa ia adalah pemandu mereka dan melapangkan jalan di depan mereka. Semua itu tidak lepas dari pengembaraannya di negeri negeri Islam.

Perjalanannya ke beberapa penjuru negeri, seperti Hijaz, Yamanm Irak, dan Mesir, diskusinya dengan para ulama di negeri negeri itu, serta perdebatannya dengan ahli fiqih. Tidak mengherankan jika ia dapat membawakan suatu yang baru ke medan ilmu din, bukan suatu yang bid’ah.

Semua itu adalah hasil dari keimanannya yang terang, ilmunya yang banyak, pengetahuannya yang sempurna, pandangannya yang jernih, dan penglihatannya yang menyeluruh.

Oleh karena itu, jadilah ia orang pertama kali yang berbicara tentang ushul (perkara perkara pokok) dan yang pertama kali menyimpulkan. Ini adalah satu keutamaannya dari beberapa keistimewaannya yang akan kami bicarakan dalam pembahasan fiqihnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button