Mulhid merupakan seorang pemuda dari golongan Dahriyin (ateis) yang selalu berdebat dengan para ulama sehingga ulama tidak dapat menjawab apa yang ditanyakan oleh Mulhid terkait keberadaan Tuhan, Tuhan yang tidak bisa diraba dan tidak dapat pula dicerna oleh panca indera.
Ya, keinginan untuk mendedat seorang ulama terkait keberadaan Tuhan memang sejatihnya telah ada sejak zaman dahulu. Alhamdulilah atas izin Allah segala macam pertanyaan mengenai Tuhan dapat dipatahkan oleh kecerdikan seorang ulama.
Pada suatu hari saat banyak ulama tumbang dengan pertanyaan bertubi tubi dari Mulhid dengan sombongnya Mulhid berkata “Siapa lagi yang akan aku habisi pendapatnya di hari ini?” Kata Mulhid.
“Masih ada itulah Syaikh Hammad” jawab para ulama yang baru saja dikalahkan. Dengan langkah yang tegap dan mantap akhirnya Mulhid menghadap ke Khalifah Bani Abbasiah, Al Mahdi agar memanggil Syaikh Hammad untuk berdebat dengannya dan disaksikan oleh semua orang.
Sang Khalifah kemudian memanggil Syaikh Hammad, namun Syaikh Hammad berjanji akan datang di keesokan harinya.
Pagi pagi sekali tanpa diduga Syaikh Ahmad kedatangan muridnya yang masih belia, dialah Abu Hanifah, dia kemudian melihat gurunya gelisa dan merasa kebingungan Syaikh Hammad takut jika tidak dapat menjawah pertanyaan dari Mulhid maka akan merusak keyakinan dan keimanan masyarakat. Abu Hanifah kemudian bertanya kepada gurunya.
“Wahai guru, kenapa hari ini guru terlihat begitu susah, apakah aku bisa membantu apa yang menjadi beban pikiran guru?” Begitu Abu Hanifah menawarkan bantuan kendati saat itu dia belum dewasa.
“Wahai muridku, bagaimana aku tidak susah menghadapi tantangan si Mulhid yang telah mengalahkan para ulama lain, malah tadi malam aku permimpi buruk mungkin itu pertanda kekalahanku” begitu tutur sang guru mengutarakan keluhannya.
“Mimpi bagaimana wahai guru” desak Abu Hanifah lagi
Dalam sebuah rumah yang luas aku melihat berbagai hiasan yang indah, dalam rumah itu terdapat pohon yang berbuah banyak, tiba tiba seorang babi datang dan melahap semua buah yang ada di pohon itu bahkan dengan daun daunnya hingga hanya nampak batang pohon tersebut. Namun, tiba tiba datang seokor harimau yang kemudian memangsa babi itu hingga tak tersisa” kata Syaikh Hammad
“Alhamdulillah” sahut Abu Hanifah “Aku telah diberi ilmu Allah sehingga dapat menafsirkan mimpi guru. Mimpi itu betul betul akan membawa nasib baik pada diri kita, dan akan selalu membuat sial pihak musuh, dengan demikian jika guru memberikan izin kepadaku untuk menafsirkannya, maka akan kulakukan, tapi jika guru berkehendak lain, aku akan selalu menurut apa yang menjadi maksud guru” Begitu Abu Hanifah menawarkan dengan penuh santun.
“Cobalah kau takwilkan bagaimana maksud mimpi tersebut?” begitu desak sang guru
Abu Hanifah kemudian mentakwilkan mimpi gurunya.
“Rumah yang luas dengan segala hiasannya yang cantik adalah negeri dan agama islam itu sendiri, sedangkan pohon yang berbuah itu adalah para ulamanya, dan batang yang masih tersisa itu adalah tuan guru sendiri, sedangkan babi ngepet itu wujud si Mulhid, kemudian harimau yang menerkam. insha Allah diri saya sendiri. Langkah lebih lanjut, hendaknya tuan guru pergi bersama saya, yang kehadiran dan niat tuan yang tulus, aku akan bertindak melawan dan mendesak si Mulhid”
Mendapat dorongan dari muridnya itu kemudian Syaikh Mulhid bersama Abu Hanifah berangkat ke Masjid Jami’ menghadiri undangan Khalifah untuk membungkam mulut Mulhid yang selama ini nyerocos tidak terkendali.
Segera saja Abu Hanifah memasuki masjid dan mengambil sebuah tempat duduk untuk gurunya, sedangan dia sendiri duduk dibawah sembari mengangkat terompanya (sandal) dan kedua terompa gurunya, masjid itu pun dipenuhi oleh para hadirin yang akan menyaksikan “pertandingan akbar” antara pihak yang benar (haqq) dan pihak salah (bathil), yang diwasiti langsung oleh sang Khalifah. Setelah semuanya siap sang Mulhid segera naik mimbar dan mengatakan:
“Siapakah yang akan menjawab pertanyaanku?” begitu dia menantang para hadirin.
“Anda jangan menentukan siapa yang akan menjawab, namun dari para hadirin ini, jika ada yang menjawab, entah itu anak anak atau orang tua, dialah yang akan berhadapan dengan Anda,” Begitu Abu Hanifah membalas dengan sengit
“Hai anak kecil, apakah kamu berani menghadapi aku dengan umurmu yang masih bau kunyit itu, padahal telah banyak ulama yang bersorban besar, berpakaian terhormat dan berlengan komprang harus bertekuk lutut di hadapanku?” Kamu sendiri anak kecil dan belum kering dari berkhitan, berani beraninya berdebat!” Begitu Mulhid, mulai panas mendengar balasan dari Abu Hanifah
“Apakah kamu sanggup menjawab persoalan yang aku ajukan, atau hanya hangat hangat tahi ayam, ingin sekali kali mencoba!” lanjut Mulhid lagi
“Silahkan kau bertanya, dan aku yang akan sanggup menjawab dengan mendapat pertolongan Allah,” tantang Abu Hanifah lagi
“Apakah Tuhan itu ada?” tanya Mulhid
“Betul, benar dan haqqul yaqin” jawab Abu Hanifah tegas
“Kalau begitu dimana dia sekarang,?” lanjut Mulhid
“Dia tidak bertempat,” balas Abu Hanifah singkat
“Bagaimana sesuatu yang wujud namun tidak memerlukan tempat?” sahut Mulhid lagi.
“Pertanyaanmu itu sebenarnya telah terjawab dengan apa yang berada pada tubuhmu sendiri,” sambung Abu Hanifah
“Apa itu?” Lanjut Mulhid lagi
“Apakah pada tubuhmu itu ada nyawanya (ruh),” serga Abu Hanifah.
“Benar, benar ada,” sahut Mulhid pula.
“Di mana ia berada? apakah bertempat di kepalamu, atau di perutmu atau di kakimu?” lanjut Abu Hanifah lagi.
Mendapat berondongan pertanyaan ini, si Mulhid kebingungan bagai lutung hilang sarungnya. Kemudian Abu Hanifah mengambil segelas susu yang sejak tadi dihidangkan oleh kerajaan, kemudian mengatakan:
“Apakah susu di gelas ini mengandung lemak?”
“Benar, wahai bocah!” sahut Mulhid kembali
“Kalau demikian dimana letak lemak itu, apakah di bagian atas atau di bagian bawah,” lanjut Abu Hanifah dengan garang.
Ternyata si Mulhid itu kebingungan lagi seakan tidak mengerti mana utara dan mana selatan lagi. Maka Abu Hanifah pun melanjutkan ucapannya:
“Sebagaimana ruh itu tidak diketahui tempatnya, atau lemak pada susu itu juga tidak bisa dimengerti tempatnya, demikian pula Allah tidak akan dapat ditentukan tempatnya di jagat raya ini” demikian tutur Abu Hanifah menohok ulu hati dengan retak.
“Kalau begitu, apakah ada barang yang maujud sebelum Allah dan sesudahnya, hayo!” begitu lanjut Mulhid yang ternyata belum kehabisan akal
“Sebelum Allah dan sesudahnya tidak ada apa apa, apa yang aku utarakan ini ada dasarnya. Tiada lain berada pada tubuhmu sendiri,” sahut Abu Hanifah membuat Mulhid terperangah.
“Apa itu?” serga Mulhid tergesa gesa
“Coba buka dan lihat telapak tanganmu, ada apa sebelum Ibu Jari dan sesudah Kelingking?” tangkis Abu Hanifah lebih lanjut.
“Nggak, tidak ada apa apa” jawab Mulhid tampak mulai ngeper
“Demikian pula sebelum dan sesudah Allah tidak akan pernah ada apa apa” tancap Abu Hanifah membuat Mulhid semakin nyungsep.
“Masih ada satu persolan lagi yang perlu kau jawab,” lanjut Mulhid lagi kendati sudah megap-megap.
“Akan terus aku jawab, insha ‘allah,” begitu sahut Abu Hanifah.
“Kalau memang Allah itu ada, sekarang sedang mengapa Dia, sedang berbuat apa pula?” tanya Mulhid masih tampak kurang ajar.
“Situasi dan kondisi sekarang ini memang terbalik,” serga Abu Hanifah.
“Mestinya orang yang bertanya itu berada di bawah, kalau perlu di deretan kursi berbaur dengan para hadirin di belakang. Dan akan lebih layak jika si penjawab berada di atas mimbar sebagai penghormatan yakni diriku.
Dengan demikian jika saja kamu mau turun dari mimbar, kemudian aka ganti aku yang naik, aku akan sanggup menjawab pertanyaan yang kau kemukakan itu,” begitu Abu Hanifah masih melancarkan diplomasi yang jitu.
Akhirnya si Mulhid pun mengalah turun dari mimbar menuju sebuah kursi, sedangkan dengan cepat Abu Hanifah dengan cepat naik ke atas mimbar, kemudian mengatakan:
“Sekarang pertanyaanmu aku jawab, bahwa Allah sekarang sedang menurunkan martabat si penyandang kebatilan dari atas mimbar menuju kursi di bawah terompahku, kemudian dia menaikkan martabat si penyandang, haqq dari tempat bawah menuju panggung kehormatan, begitu, tahu.”
Mendapat jawaban seperti ini, gemuruh tepuk tangan para hadirin tidak terbendung lagi mengeluh-eluhkan diplomasi Abu Hanifah. Sedangkan si Mulhid betul betul tak berdaya seperti wayang kulit yang kehilangan kayu penjepitnya, loyo dan melur.
Semoga dapat menambah keimanan…