Maksiat Boleh Asal Terpenuhi Syaratnya
Di suatu masa hiduplah seorang lelaki yang zalim dan suka melakukan kemaksiatan. Bertahun tahun ia hidup bergelimangan dosa, sampai suatu ketika dia mulai berpikir tentang nasibnya.
“Bagaimana kalau aku meninggal nanti? Apa yang dapat aku pertanggungjawabkan di hadapan Allah?” begitu pikir laki-laki itu.
Meskipun telah berniat untuk bertobat tetapi laki-laki itu masih diliputi keragu-raguan karena berbuat dosa sudah menjadi kebiasaannya.
Di tengah kebimbingannya itu ia kemudian menghadap ke Ibrahim bin Adham, seorang ulama terkenal di daerahnya. Ibrahim adalah ulama yang luas ilmunya dan dalam pemahamannya. Dia dikenal juga dengan sebutan Abu Ishaq.
“Wahai Abu Ishaq,” sapa sang laki-laki, “Aku adalah laki laki yang banyak berbuat dosa dan kemaksiatan. Cobalah nasihati aku agar aku mendapatkan keselamatan.”
Ibrahim menatap pemuda itu, tampak di matanya bahwa ia betul betul ingin bertobat, namun dalam dirinya masih terdapat kebimbangan akan kemampuannya menghindarkan diri dosa dan maksiat.
“Begini saja wahai saudaraku, ada lima perkara yang harus engkau perbuat agar kemaksiatan yang engkau lakukan tidak menghancurkanmu,” nasihat Ibrahim dengan lembut.
“Apakah lima perkara itu?” tanya pemuda itu heran.
“Pertama jika engkau ingin makan, jangan makan dari rezeki-Nya.”
Lelaki itu terdiam sebentar, kemudian menjawab
“Loh, bagaimana mungkin? Bukankah semua yang ada di bumi ini adalah rezeki-Nya?”
Ibrahim menjawab,
“Nah, bagaimana mungkin engkau terus mengambil rezeki dari-Nya sementara engkau juga berbuat durhaka kepada-Nya?”
Lelaki itu terdiam sejenak, kemudian melanjutkan pertanyaannya
“Apakah perkara yang kedua?”
“Jangan menempati negeri-Nya jika ingin berbuat maksiat,” kata Ibrahim.
“Tetapi dimana lagi aku akan tinggal? bukankah semua tempat di jagat, baik di barat maupun di timur, adalah negeri-Nya?” jawab sang lelaki.
“Jadi apakah pantas bagimu mengambil rezeki dari-Nya, mendiami bumi-Nya, sementara engkau terus saja berbuat durhaka kepada-Nya?” sahut Ibrahim.
“Ya memang amat tidak pantas,” sahut lelaki itu.
“Baiklah, apa perkara yang ketiga?” tanya lelaki itu selanjutnya.
“Bila engkau ingin berbuat maksiat di negeri-Nya dengan terus mengambil rezeki-Nya, maka lakukanlah di suatu tempat yang terjauh dari pandangan-Nya” kata Ibrahim lagi.
Lelaki itu terperangah seraya mengatakan, “Wahai Abu Ishaq, di mana pula ada tempat seperti itu? Bukankah Allah maha melihat dan Maha Mengetahui apa-apa yang ada di dalam hati manusia?”
Ibrahim menjawab pula dengan lembut, “Jadi saudaraku, bagaimana mungkin engkau memakan rezeki-nya, mendiami negerinya, lalu berbuat durhaka kepada-Nya, sementara Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala perbuatan dan niat manusia?”
Lelaki itu mengangguk-angguk.
“Baiklah Abu Ishaq, apa yang keempat?”
“Apabila datang malaikat mau kepadamu, katakan padanya, “Tunggu dulu, beri tangguh sebentar padaku agar aku sempat bertobat dan beramal saleh,” kata Ibrahim.
“Ah, tentu saja malaikat maut tidak mau mengikuti permintaanku,” ujar sang lelaki.
“Nah, kalau engkau tahu bahwa engkau tidak dapat menangguhkan datangnya maut untuk bertobat, bagaimana engkau bisa berharap selamat dari perbuatan durhaka kepada-Nya?” sahut Ibrahim.
“Engkau benar” kata lelaki itu
“Teruskan apa perkara yang kelima,” sambung lelaki itu seakan tidak sabar.
Ibrahim menatap sang lelaki lekat lekat lalu berkata,
“Bila nanti Malaikat Zabaniyah (Malaikat penjaga neraka) datang kepadamu di hari kiamat untuk membawamu masuk ke dalam neraka, janganlah kamu turuti keinginannya.
“Wahai Abu Ishaq, tentu saja malaikat itu tidak akan membiarkan diriku berbuat begitu”
“Nah, saudaraku, dengan mengetahui semua ini, bagaimana engkau bisa berharap selamat bila terus durhaka kepada Allah?”
Sang lelaki itu menegakkan kepalanya dan tersenyum puas.
“Abu Ishaq, aku puas denga nasihatmu. Saksikan kini bahwa aku bertobat kepada Allah dan akan meninggalkan kemaksiatan selama-lamanya.”
Ibrahim bin Adham tak dapat menahan rasa harunya begitu menderang persaksian tobat laki-laki yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang zalim dan suka berbuat maksiat. Dan sampai akhir hidupnya laki-laki itu menjadi orang yang saleh dan tidak pernah lagi durhaka kepada Allah.