Perselisihan Kaum Muslim menjelang Mematian Rasulullah SAW
Perselisihan pertama
Nabi saw meminta (pena dan kertas) kepada para sahabatnya untuk menulis sebuah kitab (surat wasiat) untuk mereka, namun mereka malah terlibat cekcok mulut di hadapan beliau dan tidak segera memenuhi permintaan Rasulullah saw tersebut.
Al-Bukhari meriwayatkan kasus ini dalam kitab Shahih nya dari Abdullah bin Abbas, ia becerita:
Saat Nabi sakit karena menjelang kematiannya, beliau berseru, “Bawakan padaku tinta dan kertas (alat alat tulis), akan aku tulis untuk kalian sebuah kitab yang tidak akan membuat kalian sesat setelahnya”
(Menanggapi permintaan tersebut) Umar berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw sudah didera rasa sakit (Jadi tidak usah kita bebani beliau untuk menulis surat wasiat segala). Cukuplah bagi kita kitab Allah (dan tidak perlulah beliau menulis kitab lagi untuk kita)”
Para sahabat berselisih pendapatan mengenai perlu tidaknya permintaan Rasulullah saw tersebut dipenuhi dan terjadilah keributan dan kegaduhan hebat di antara mereka.
Nabi saw pun berseru, “Pergilah kalian dari hadapanku! tidak seyogyanya ribut ribut beradu mulut di hadapanku”
Ibnu Abbas berkomentar: “Bencana dari segala bencana adalah perselisihan tersebut yang menghalangi kita dari surat wasiat Rasulullah saw”
Perlu ditegaskan bahwa Umar bin Khaththab selalu menaati perintah Rasulullah saw, dan ia tidak menjalankan sesuatu tanpa perintah beliau. Hal ini misalnya tercermin dalam hadis Abdullah bin Zam’ah sebagai berikut:
Ketika Rasulullah saw sakit, Bilal masuk menemui beliau untuk mengajak beliau shalat, maka beliau pun bersabda, “Perintahkanlah orang yang (biasa) mengimami shalat orang orang (ketika aku ada udzur)” Abdullah bin Zam’ah melanjutkan: Aku lalu keluar dan mendapati Umar telah berada di tengah orang orang sementara Abu Bakar tidak ada, maka aku bilang padanya, “Berdirilah, hai Umar, dan imamilah (shalat) orang orang.” Umar pun bangkit (menjadi imam)
Ketika ia bertakbir, Rasulullah saw mendengar suaranya, dan Umar memang sosok pria yang bersuara lantang. Rasulullah saw lalu bertanya, “Di mana gerangan Abu Bakar? Allah swt dan kaum muslimin tidak menyukai hal itu! Allah swt dan kaum muslimin tidak menyukai hal itu!”
Rasulullah saw kemudian mengutus orang pada Abu Bakar, maka datanglah ia setelah Umar menjalankan shalat tersebut, lalu ia tampil menjadi imam shalat orang orang.
Umar pun berkata kepadaku, “Celaka kau, apa yang kau lakukan terhadapku, hai Abu Zam’ah? Demi Allah, Saya pikir saat kau menyuruhku, Rasulullah-lah yang memerintahkan hal itu. Andai tahu bahwa kenyataannya tidak demikian, tentu aku tidak mau menjadi Imam shalat orang orang”
Aku jawab, “Demi Allah, Rasulullah saw memang tidak memerintahkan hal itu kepadaku, namun ketika aku tidak melihat Abu Bakar, maka aku pandang kaulah yang paling berhak mengimami shalat orang orang”
Selanjutnya, terkait hadis Ibnu Abbas di atas yang dijadikan “alat propaganda” oleh sebagian kalangan untuk mengingkari Umar dan menudingnya sebagai pengabai perintah Rasulullah saw, perlu ditandaskan bahwa para ulama telah berpanjang lebar membicarakan hadis ini dengan penjelasan yang sangat melegakan. Salah satunya yang cukup berharga dikemukakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim. Ia mengatakan:
Ketahuilah bahwa Nabi saw terlindung dari aksi bohong dan mengubah sesuatu dari hukum hukum syara’, baik semasa beliau sehat maupun kala beliau sakit. Beliau juga ma’shum (terlindung) dari meninggalkan penjelasan sesuatu yang diperintahkan kepadanya untuk dijelaskan dan menyampaikan apa yang diwajibkan Allah kepadanya untuk disampaikan. Namun beliau tidak ma’shum dari penyakit dan gangguan kesehatan yang menyerang tubuh serta hal hal sejenisnya yang tidak sampai mengurangi posisi beliau maupun apa yang telah terbentang dari syariatnya.
Nabi saw misalnya pernah terkena sihir hingga beliau merasa seolah olah telah melakukan sesuatu padahal tidak. Namun dalam kondisi ini, beliau tidak mengeluarkan pernyataan tentang hukum yang bertentangan dengan hukum hukum yang telah beliau tetapkan sebelumnya.
Mengenai Ujaran Umar, Al-Qadhi (Iyadh) menambahkan ujaran Umar merupakan tanggapan atas orang yang menyelisihinya, bukan bantahan dan penolakan atas perintah Nabi saw.
Mengomentari hal tersebut, Syaikh Ali Ath-Thanthawi mengatakan: Sepengetahuan saya, selama rentang persahabatannya yang begitu lama dengan Rasulullah saw Umar biasa mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah saw karena ia tahu Nabi saw bakal mengizinkannya untuk itu dan ridha menerimanya.
Dari berita berita persahabatannya, terlihat bahwa dalam banyak momentum Umar sering mengusulkan beberapa hal kepada Rasulullah saw, meminta beberapa hal kepada beliau, dan bertanya tentang beberapa hal kepada beliau, dan Rasulullah saw terbukti mengakui apa yang dikemukakannya jika memang benar dan menolaknya jika memang salah.
Sehingga ketika Rasulullah saw bersabda. “Bari aku (alat alat tulis) agar aku tuliskan kitab untuk kalian,” maka sebagaimana kebiasaannya bersama Rasulullah saw, Umar pun kali ini mengusulkan kepada beliau mencukupkan diri dengan kitab Allah, dan Rasulullah saw mengakuinya (dengan bukti beliau tidak memintanya lagi). Sebab jika memang beliau benar benar ingin menulis (wahyu yang diturunkan kepada beliau), tentu Umar akan diam dan meluluskan apa yang diinginkan Rasulullah saw.
Perselihan Kedua (Pengiriman Laskar Usamah)
Pada masa Nabi saw, imperium Romawi merupakan dua negara adikuasa yang berdampingan dengan Semenanjung Arab. Ia mengusai sebagian besar kawasan utara semenanjung Arab. Emir emir penguasa tersebut ditunjuk dan diangkat oleh Imperium Romawi dan mereka tunduk pada perintah Roma.
Nabi saw terhitung pernah mengirimkan sejumlah da’i dan delegasi ke kawasan kawasan tersebut. Bahkan beliau utus Dihyah Al-Kalabi untuk menghadapi kaisar Heraklius, penguasa Romawi, dengan membawa surat Rasul yang berisi seruan kepadanya agar masuk Islam, namun ia menolaknya mentah mentah dan meminjam bahasa Al Quran, “bangkitlah kesombongannnya yang menyebabkannya berbuat dosa”
Strategi ini beliau maksudkan untuk menggoyahkan kewibawaan bangsa Romawi di dalam diri bangsa Arab. Pengiriman da’i dan delegasi dakwah ini kemudian diiringi dengan pengiriman pasukan Muslimin untuk menaklukkan negeri negeri tersebut.
Pada Tahun ke tujuh hijriah, Rasulullah saw mengirim pasukan besar ke Syam yang dikuasai Romawi dan terjadilah pertempurang sengit antara mereka dengan pasukan Romawi yang dibantu oleh kalangan kristen Arab di Mu’tah (dikenal sebagai perang Mu’tah)
Dalam perang ini, panglima pasukan Muslimin yang ditujuk oleh Rasulullah saw berguguran satu persatu, mulai dari Zaid bin Haritsah, kemudian Ja’far bin Abu Thalib, dan disusul oleh Abdullah bin Rawwahah, sehingga kemudian pimpinan pasukan diambil alih oleh Saifullah Khalid bin Walid yang kemudian menarik mundur pasukan dengan berbagai pertimbangan strategis dan kembali ke Madinah.
Selanjutnya pada tahun ke sembilan hijrah, Rasulullah saw memobilisasi pasukan besar untuk menyerang basis Romawi di Syam dan memimpin sendiri pasukan tersebut. Hingga sampai ke Tabuk, pasukan Muslimin tidak menjumpai perlawanan pasukan Romawi maupun kabilah kabilah Arab (Kristen yang memihak mereka). Para penguasa kota kota perbatasan lebih memilih berdamai dam membayar jizyah pada Rasulullah saw. Setelah bertahan di Tabuk selama dua puluh malam, pasukan akhirnya kembali ke Madinah.
Berikutnya, pada tahun ke sebelas Hijrah, Rasulullah saw memobilisasi pasukan untuk menyerbuh pasukan Romawi di Balqa’ dan Palestina. Di antara personel pasukan ini terdapat sahabat sahabat senior baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, namun beliau memercayakan kepemimpinan pasukan pada Usamah bin Zaid yang waktu itu masih muda belia dan belum berusia 20 tahun.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Mobilisasi laskar Usamah dilakukan pada hari sabtu, 10 Rabiul Awwal, dua hari sebelum kematian Rasulullah saw, namun persiapannya sudah dimulai sebelum Nabi saw jatuh sakit.
Melihat kondisi tersebut orang orang menganjurkan untuk menunda serangan ke Romawi hingga akhir bulan Syafar. Namun beliau tetap memanggil Usamah dan bertitah kepadanya, “Majulah ke lokasi gugurnya ayahmu dan injak injaklah mereka (pasukan romawi) dengan kuda kuda pasukanmu. Aku serahkan kepemimpinan pasukan kepadamu”
Penunjukan Usamah yang masih terlalu belia sebagai panglima ditentang dan dipermasalahkan oleh sebagian orang, maka Rasulullah saw pun bersabda, memberikan tanggapan kepada mereka, “Jika kalian mencela dan menolak kepemimpinannya, berarti kalian telah mencela dan menolak kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Demi Allah jika ia (ayah Usamah) pantas memegang kepemimpinan pasukan dan ia merupakan manusia yang paling dicintai, maka ini (Usamah, anaknya) benar benar orang yang paling aku cintai setelahnya”