Talak dalam Islam
Talak (cerai) itu terbagi dua:
1. Sharih yaitu yang diucapkan dengan jelas.
2. Kinayah, yaitu diucapkan dengan sindiran
Talak sharih itu memiliki tiga lafash:
1. Dengan kata talak itu sendiri.
2. Dengan kata firaq (lepas)
3. Dengan kata sirah (pisah)
Talak yang diucapkan dengan jelas tidak membutuhkan niat.
Talak dengan kinayah (sindiran) adalah setiap kata yang mengandung makna talak dan selainnya. Ini membutuhkan niat.
Hukum wanita dalam perkara talak ada dua yaitu sunnah dan bid’ah. Yang sesuai dengan aturan sunnah adalah menjatuhkan talak ketika istri suci dan tidak digauli. Adapun yang bid’ah adalah menjatuhkan talak ketika istri haidh, atau ketika suci tetapi suami menggaulinya.
Ada talak yang tidak sunnah dan juga tidak bid’ah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada empat orang:
1. Wanita yang masih kecil
2. Wanita yang sudah memasuki masa monopaus.
3. Wanita yang sedang hamil
4. Wanita yang mengajukan khulu’ dan belum digauli.
Penjelasan:
1. Kata talak, Firaq (lepas) dan Sirah (pisah) berasal dari syariat dan diulang ulang dalam Al Qur’an dengan makna cerai.
Allah SWT berfirman,
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (Ath-Thalaq [65]:1)
Dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (Al-Ahzab [33]:28)
…Atau lepaskanlah mereka dengan baik (Ath-Thalaq: 2)
2. Talak dengan kinayah (sindiran) adalah setiap kata yang mengandung makna talak dan selainnya. Misalnya perkataan, “kembalilah kepada keluargamu” “Engkau bukan istriku” “Engkau bebas”
Jika suami berniat menjatuhkan talak, maka talak pun terjadi. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (2769) tentang peristiwa ketidakikutan Ka’ab bin Malik dalam perang Tabuk. Dia berkata,
“Tatkala berlalu 40 hari dari 50 hari masa itu, sedangkan wahyu terlambat turunnya, maka datanglah utusan Rasulullah SAW dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu’ Saya bertanya, ‘Haruskah saya menjatuhkan talak kepadanya atau apa yang harus saya lakukan?’Utusan itu menjawab, ‘Jauhilah istrimu dan jangan mendekatinya'” Ka’ab melanjutkan kisahnya, “Saya pun berkata kepada istriku, ‘Kembalilah kepada keluargamu'”
Ka’ab melakukan itu karena takut menyelisihi perintah Rasulullah SAW serta akan menyebabkannya bergaul dengan istrinya, jika istinya itu tetap tinggal bersamanya. Tatkala taubatnya diterima, maka istrinya kembali bersamanya. Nabi SAW tidak memerintahkan untuk menceraikan istrinya atau melakukan akad baru. Hal ini menunjukan bahwa perkataan, “Kembalilah kepada keluargamu, bukanlah bentuk kata talak.”
3. Mengenai talak bid’ah, hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (4953) dan Muslim (1471) dari Abdullah bin Umar bahwa dia menjatuhkan talak kepada istrinya ketika sedang haidh pada masa Rasulullah SAW. Lalu Umar bin Khathab menanyakan ini kepada Rasulullah SAW. Beliau menjawab,
“Peritahkanlah dia untuk rujuk. Kemudian, hendaklah dia memegangnya sampai suci, kemudian haidh, kemudian suci. Kemudian jika berkehendak, dia bisa memegang setelahnya. Jika berkehandak, dia bisa menjatuhkan talak sebelum berhubungan badan dengannya. Itulah ‘iddah yang diperintahkan Allah ketika wanita ditalak”
Sebab, pada waktu ini dimulailah ‘iddahnya semenjak jatuhnya talak. Berbeda jika wanita ditalak ketika haidh. Dia tidak memulai ‘iddahnya sampai haidnya berhenti. Jika suami menjatuhkan talak setelah melakukan jima’, maka bisa jadi istrinya itu hamil, padahal dia tidak ingin menjatuhkan talak istrinya yang hamil, sehingga hal itu menjadi penyesalan.